Nasional

KH Miftachul Akhyar Jelaskan 2 Tanda Hati yang Mati

Jum, 17 Mei 2024 | 13:30 WIB

KH Miftachul Akhyar Jelaskan 2 Tanda Hati yang Mati

Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar. (Foto: dok istimewa)

Jakarta, NU Online

Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Miftachul Akhyar mengungkapkan dua tanda hati seseorang sedang mati. Pertama, adalah saat ia tidak memiliki rasa sedih di kala melewati kebaikan-kebaikan yang semestinya menjadi tambahan amal. 


Ulama asal Surabaya, Jawa Timur ini menjelaskan tanda tersebut dengan mengutip pernyataan Imam Ibnu Athaillah dalam matan Al-Hikam-nya.


"Tandanya orang yang hatinya mati manakala dia ketinggalan atau lalai melakukan kebaikan-kebaikan, tidak sedih," katanya katanya saat mengisi kajian rutin Syarah Al-Hikam di akun Youtube Multimedia KH Miftachul Akhyar, diakses NU Online, Kamis (16/5/2024). 


Biasanya, lanjut Kiai Miftach, sapaan akrabnya, orang yang sedang mengidap tanda matinya hati ini sama sekali tidak merasa terbebani akan kelalaian yang sebetulnya merugikan dirinya. Bahkan terhadap kewajiban-kewajiban yang seharusnya menjadi prioritas untuk dikerjakan.


"Paling hanya mikir, besok kan ada lagi, ini kan bisa di-qadha. Besok tak ganti amal yang lebih banyak. Begitu itu adalah tanda hati yang mati," terang Kiai Miftach.


Pergantian waktu bagi orang yang mati hatinya dipandang biasa saja, tak ada nilai yang berarti. Hari ini, dianggapnya dapat diulang di waktu-waktu berikutnya. Padahal, di setiap perputaran waktu sangat penting untuk diisi dengan berbagai amal. Karena kesempatan yang diberikan Allah hari ini belum tentu juga datang di hari-hari berikutnya.


"Hati yang mati itu sudah tidak merasa ada perasaan eman terhadap kesempatan-kesempatan melakukan kebaikan. Sementara, waktu itu sama seperti pedang, kalau kalian tidak menggunakan pedang itu selayaknya, dianggurkan, maka pedang itu bisa memotong kalian, membunuh kalian," ucapnya.


Menurut Kiai Miftach, hati orang yang sedang mati akan cenderung miskin amal kebaikan, sepanjang ia tak mampu menghidupkan hatinya kembali. 


"Waktu hanya bisa membawa kekosongan amal. Padahal di dunia ini kesempatan kita untuk bercocok tanam. Nabung amal ya saat kita masih berada di dunia ini," jelasnya.


Padahal, lanjut Kiai Miftach, Islam sudah memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk umat dalam beramal. Tinggal bagaimana memanfaatkannya sebaik mungkin di hari-hari yang dijalani.


"Tidak punya uang untuk sedekah misalnya, dengan mengingatkan sahabat yang lupa akan amal dan kebaikan juga sedekah, membuang kotoran atau kayu yang menghalangi jalan agar memudahkan saat orang saat lewat di situ, juga sedekah," tuturnya.


Adapun tanda hati sedang mati yang kedua adalah di saat seseorang tidak menyesali apa yang dilakukan dari perbuatan-perbuatan dosa. "Melakukan dosa sama sekali tidak menyesal," jelas Kiai Miftach.


Hati merupakan unsur paling penting dalam diri manusia. Karena itu, tak semestinya hati dibiarkan mati berkepanjangan. Hati seharusnya menjadi sarana mengajak terhadap aneka kebaikan sebagai bekal di dunia menghadapi kehidupan berikutnya. 


"Amal-amal yang dilakukan di dunia agar kita memiliki bekal yang memuaskan. Jangan sampai nanti di akhirat menyesal karena di sana sudah tak punya kesempatan beramal," pesannya.